Comments: Memahami Musik Jazz (2 – Tamat)

19 Des

JAZZ music logo

Tulisan terakhir dari 2 serial tulisan:
Berikut adalah komentar JK terhadap artikel dengan judul “Memahami Musik Jazz”. Artikel diissued tanggal 3 Juni 2009, 03:42:00 PM and Author: Jass FM. Disetiap paragraf, kami ssipkan komentar dari Jazz Kaltim (JK). Lanjutan artikel sebagai berikut:

Puncak dari dekonstruksi dalam jazz terjadi pada tahun 1965-an yang ditandai denagn hadirnya free jazz. Gaya ini merupakan tonggak perkembangan jazz postmodern dengan karakter utama tonalitas bebas (free tonality); disintegrasi pada meter, beat dan simetri; masuknya musik etnis (world music); pemujaan terhadap intensitas; dan masuknya suara-suara alam khususnya dari hutan belantara (jungle sound). Pada dekade 80 dan 90, free jazz menjadi pondasi dari perkembangan fusion dan neo-Classicism, sedang mainstream dari jazz menjelma kedalam gaya permainan Classicism. Oleh karena itu jazz tidak lagi dapat didefinisikan semata-mata sebagai gaya perminan swing, bebop atau mainstream, tetapi sebagai sebuah kebudayaan bermusik yang lebih canggih dan plural.
JK: Okay… sampai disini, JK masih sependapat….

MUSIK JAZZ DI INDONESIA
Ketika sedang gencar-gencarnya musik jazz dipasarkan di tanah air, nampak beberapa kendala telah merintangi sehingga musik ini belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, namun justru cenderung menjadi elit dan eksklusif. Padahal kalau bersandar pada spirit yang dikandungnya jelas bahwa menjadi elit bukan merupakan tujuan penciptaan musik jazz, sebab jazz selalu “berdimensi pembebasan”. Kalau begitu barangkali ada mekanisme yang kurang tepat dalam sosialisasi jazz di tanah air sehingga hasilnya cenderung bias lapisan tertentu. Mempelajari jazz memang tidak semata-mata memahami dan menikmati gaya-gaya permainan yang ada tetapi alangkah bijaksana kalau juga memahmi dimensi historis dan ideologis yang dikandungnya dalam rangka menghindari bias-bias tertentu.
Ideologi jazz yang bersifat pembebasan, liberal, demokratis dan dekonstruktif terhadap kebekuan gaya-gaya permainan sebelumnya adalah merupakan sifat kritis yang perlu juga dipahami dan diinternalisasi oleh penggemar Jazz kalau mereka ingin mengerti apa itu Jazz. Tanpa sosialisasi dari sifat kritis musik Jazz maka para penggemar Jazz justru dapat terjebak dalam cara sosialisasi yang dikembangakan saat ini oleh “rezim industri musik” sehingga jazz menjadi elit dan eksklusif. Rezim industri musik cenderung menjual gaya-gaya permainan jazz yang mudah dipasarkan tanpa pedulu apakah gaya-gaya permainan yang ditampilkan merupakan gaya-gaya permainan sentral dalam perkembangan jazz atau hanya pinggiran. Bahkan rezim ini cenderung mengeksploitasi simbol modernitas, kehidupan kampus dan eksklusifme dalam memasarka musik jazz. Sebagai contoh merebaknya jazz jenis fusion di tanah air diduga akibat dari cara sosialisasi seperti itu.Sedang argumen yang mengatakan bahwa jazz memiliki sofistikasi sehingga memerlukan kapasitas intelegensia yang lebih tinggi dari pada memahami musik non jazz adalah sebuah klaim yang sewenang-wenang. Musik tidak semata-mata di pahami melalui rasio tetapi juga dapat melalui rasa dan cenderung lebih merupakan akibat dari kostruksi sosial sebuah komunitas. Mengapa dangdut lebih memasyarakat dari pada jazz ? Jawabannya adalah bahwa harmoni dangdut sudah di sosialisasikan sejak lama sehingga embedded dalam kultur kita, sementara musik jazz lebih merupakan bentuk transplantasi kebudayaan musik dari dunia luar. Diana KrallAkibatnya jazz menjadi asing bagi sebagian lapisan masyarakat bawah yang tidak memiliki akses (baik kapital budaya, sosial maupun ekonomi), tetapi tidak asing bagi lapisan menengah – atas yang memilikinya.

Oleh: Dr. Heru Nugroho
Sumber : Down Beat, Jazz Book (J.E.Berendt)

JK: Karena yang membahas ahlinya, nampaknya memang demikianlah kondisi yang ada di kita. Akan kita bahas lagi untuk menyikapi alternatif solusi terhadap hal-hal yang disampaikan di atas. Terima kasih.

(TAMAT)

Tinggalkan komentar